Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Zulfa Mustofa, mengajak para santri, guru, dan akademisi untuk kembali menulis, meneliti, dan menghidupkan tradisi intelektual Islam ala pesantren. Menurutnya, menulis adalah jalan santri untuk memenangkan peradaban.
Penegasan itu disampaikan KH Zulfa Mustofa saat menjadi narasumber dalam acara Halaqah Nasional Turats Ulama Pesantren di hall kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sidoarjo, Jumat lalu.
Kiai Zulfa menyebutkan, semangat menulis tersebut selaras cara para ulama terdahulu yang menorehkan ilmu dan hikmah melalui karya-karyanya hingga menjadi cahaya bagi peradaban umat.
“Para ulama besar itu juga memulai dari tulisan-tulisan sederhana. Maka bagi para santri muda, jangan takut dan jangan minder. Menulislah. Karena dengan menulis, engkau sedang membangun masa depan peradaban Islam,” terang Kiai Zulfa diberitakan NU Online Jatim.
Kiai Zulfa menyoroti pula pentingnya santri masa kini untuk tidak berhenti menjadi penikmat karya lama, tetapi juga menjadi penulis dan pencipta pengetahuan baru. “Kalau kita tidak menulis, anak-anak kita tidak akan tahu apa yang benar,” pesannya.
Ia menjelaskan, karya para ulama adalah cermin nilai dan watak masyarakat pada zamannya. Melalui kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Nusantara, dapat dilihat bagaimana Islam di Indonesia tumbuh dalam suasana toleransi, moderasi, dan penghargaan terhadap perbedaan.  
“Dari kitab para ulama kita tahu, masyarakat Indonesia itu toleran. Mereka tidak mudah mengkafirkan sesama muslim, tidak gampang memusuhi yang berbeda agama, hidup harmonis. Semua itu terekam dalam karya-karya ulama kita,” jelasnya.
Kiai Zulfa kemudian mencontohkan penelitian pribadinya terhadap karya monumental ulama besar, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, yang memperlihatkan betapa kaya dan luasnya khazanah intelektual Nusantara. Ia menulis biografi ilmiah berjudul Fathul Qashidah dengan riset mendalam selama berbulan-bulan untuk memahami sosok dan pemikiran Syekh Nawawi.
Menurutnya, melalui kajian dan penulisan ilmiah seperti ini, kita dapat menelusuri jejak peradaban Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang khas Indonesia, yaitu moderat, rasional, dan terbuka terhadap dialog keilmuan.  
“Kalau kita membaca kitab-kitab para ulama, kita bisa melihat wajah Aswaja Indonesia yang asli, lembut, inklusif, dan ilmiah. Mereka berdialog dengan perbedaan, bukan memusuhi,” ungkapnya.
Dalam pandangan Kiai Zulfa, salah satu tantangan besar umat Islam di Indonesia adalah kurangnya produktivitas dalam menulis karya ilmiah. Di dunia internasional, Indonesia sering dianggap sebagai ‘kelas tiga’ dalam hal produksi literatur keislaman, padahal memiliki ulama besar dan tradisi intelektual yang kaya.  
“Di forum internasional, ulama-ulama dari Timur Tengah seperti Mesir, Yaman, Irak, atau Maroko dianggap kelas satu karena karya tulisnya banyak dan berkualitas. Indonesia punya banyak ulama besar, tapi belum cukup dikenal karena karya mereka belum terangkat ke dunia global,” katanya.  
Sebab itu, ia menekankan pentingnya mempromosikan karya ulama Nusantara agar dikenal luas, seperti karya Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari, Syekh Mahfudz Termas, dan Syekh Nawawi al-Bantani.  
“Kita harus berani mempromosikan ulama kita sendiri. Jangan minder. Ulama Indonesia tidak kalah hebat, hanya perlu kita dorong agar karya dan pemikirannya lebih dikenal dunia,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kiai Zulfa sangat mengapresiasi inisiatif PCNU Sidoarjo yang menggelar pameran turats ulama pesantren. Menurutnya, kegiatan ini bukan sekadar pameran naskah klasik (turats), tetapi langkah nyata dalam membangunkan kembali peradaban Islam Nusantara yang telah lama berakar kuat di bumi Indonesia.  
“Ketika PCNU Sidoarjo menginisiasi acara seperti ini, sesungguhnya mereka sedang membangunkan kembali peradaban yang sudah ada. Para santri dan cendekiawan harus tahu, bahwa dari apa yang ditulis para ulama terdahulu, kita bisa membaca peradaban suatu bangsa,” pungkasnya.
 
Editor: REDAKTUR MWCNU BUARAN